Di tempat inilah aku terjebak, di sebuah rumah sakit dengan seorang suster cantik, rumah sakit ini cukup jauh dari rumahku. Karena hanya rumah sakit ini satu-satunya rumah sakit yang cukup besar di kota tempat tinggalku yang terpencil. Aku berjalan sendirian menyusuri lorong-lorong rumah sakit ini tak tentu arah. Beberapa pasang mata pengunjung rumah sakit dengan pandangan yang tak aku mengerti, entah terpesona atau kagum dengan ketampananku.

Hey, apa di rumah sakit ini tidak ada lagi makhluk yang tampan selain aku? Batinku dengan rasa bangga yang besar. Seperti anak hilang, aku terus berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit sambil sibuk tengok kanan dan kiri. Siapa tahu ada bidadari cantik yang Tuhan kirim untukku atau mungkin bahkan nyasar sekalipun? Apa tidak ada wanita cantik di tempat ini? batinku pilu. Bagaimana tidak? Sudah hampir dua jam berjalan mengitari pelosok rumah sakit ini tak satupun kulihat ada wanita cantik yang tersesat.

Kalau saja bukan mama yang memaksa diriku untuk menemani beliau kontrol pada dokter. Aku pasti akan menolak keras karena bagiku rumah sakit adalah tempat yang paling membosankan, hanya ada orang yang sekarat dan tak berdaya lagi. Belum lagi bau khas rumah sakit yang seringkali membuatku mual. Setelah dua jam berkeliling tanpa hasil, aku hampir menyerah dan lebih memilih duduk di kursi-kursi yang memang di sediakan untuk para pengunjung rumah sakit ini.

Tunggu dulu. Aku mengucek-ngucek mataku berkali-kali. Siapa tahu aku salah lihat? Tak percaya apa yang kulihat. Tak percaya akan sosok itu, sosok yang kini berdiri di hadapanku. Spontan, aku mencubit lenganku keras-keras. Mungkin saja ini hanya mimpi atau fatamorgana karena rasa bosanku.

“*Argh” teriakku dengan keras. Dengan mata memerah, menahan rasa sakit yang telah meninggalkan jejak kemerahan di tangan kananku.
“Lho, mas kenapa? Mas tidak apa-apa? Kenapa tadi berteriak? Apanya yang sakit?” tanya seorang suster.

Baru saja, aku ingin melanjutkan kata-kataku yang tiba-tiba saja tercekat di tenggorokan. Aku hanya bisa membuka mulutku entah terpesona atau bingung dengan serentetan pertanyaan suster cantik itu. Aku pun menjadi linglung.

“Mas, mas kenapa?” tegur suster cantik yang menyadarkan diriku dan membuat lamunanku buyar hilang entah pergi kemana. Aku hanya bisa menggeleng lemah.

“Oh, ya sudah kalau mas tidak apa-apa. Saya tinggal dulu ya, karena saya harus mengurus pasien yang lain” kata suster cantik tersebut seraya melangkah pergi meninggalkan diriku yang masih terpesona.

Setelah, suster tersebut menghilang dari balik pintu. Aku baru tersadar dari lamunanku.

“Bodoh, bodoh, bodoh banget sih aku! Kenapa pakai acara gugup segala, sih? Pergi deh bidadariku. Selamat datang rasa bosan” gumamku sambil meratapi kebodohanku.

Baru saja, aku ingin pergi mencari suster tadi. Tiba-tiba, aku merasa selarik angin membuatku meremang. Aku tiba-tiba saja merinding. Ada apa ini? Tak mungkin sosok suster cantik ini adalah suster jadi-jadian? batinku. Kulihat sebentar saja suster itu sudah hilang dari tembok rumah sakit padahal baru lima menit yang lalu. Aku berlari menyusulnya. Tapi, suster itu sudah tidak ada lagi. Entah kemana perginya. Aku seperti kehilangan jejaknya.

“Masa sih, secepat itu dia berjalan? Kemana perginya suster itu?” gumanku pelan.

Dengan putus asa, aku melangkah dengan lesu. Pupus sudah harapanku untuk berkenalan dengan suster cantik itu.
Dengan tidak sengaja, aku melewati beberapa orang suster yang sedang asyik bergosip. Kayak tidak ada kerjaan lain saja, batinku. Tiba-tiba, aku mendengar kasak-kusuk para suster. Ada yang menarik hatiku dari pembicaraan mereka, aku segera menajamkan telingaku.

“Lin, tahukah kau kalau arwah suster yang meninggal kemarin masih gentayangan di rumah sakit ini? Kalau tidak salah suster cantik itu. Dia masih mencari tumbal untuk menemaninya di alam baka sana” kata seorang suster pada seorang temannya sesama suster.
“Ah, masa sih Dha?” tanya suster itu pada temannya dengan nada tak percaya.
“Iya benar, Lin. Arwahnya berkeliaran di rumah sakit ini terutama di malam hari” kata suster itu lagi pada temannya.
“Oh ya? Wah, berarti aku nggak mau lagi deh shift malam, hii” jawab suster itu sambil bergidik ngeri.

Tanpa sadar, aku ikut-ikutan bergidik ngeri.

“Jadi yang tadi aku lihat itu arwahnya suster yang meninggal kemarin? Hii, pantas saja, wajahnya sangat pucat persis seperti mayat tetapi sungguh kecantikannya tidak hilang. Dia masih terlihat sangat cantik” gumamku pelan.
“Hey, mas! Kenapa melamun? Nanti kesambet lho” colek seseorang yang suaranya seperti tak asing lagi di telingaku.

Bulu kudukku meremang seketika. Dengan sisa keberanianku, aku mencoba menoleh dengan tubuh gemetar. Aku berusaha berpegangan pada tembok agar bisa menopang tubuhku.

“Kamu kan sudah?” kataku belum selesai dan akhirnya semua menjadi gelap. Aku pun tak sadarkan diri.