Genderuwo adalah salah satu makhluk halus yang cukup sering disebut-sebut orang Indonesia khususnya di daerah perkampungan. Tetapi seperti apa asal-usulnya?

Nama asli Genderuwo diduga berdasal dari nama Gandarva (dibaca: Gandarwa). Dulu di saat tanah Nusantara ini masih kental dengan nilai-nilai Hindu dan Buddha, masyarakat setempat sudah mengenal dengan nama Gandarva. Suatu makhluk tidak kasat mata yang bertugas sebagai pembawa pesan dari para dewa dan pemusik surgawi. Jadi pada dasarnya mereka adalah makhluk supranatural yang tinggal di khayangan. Bahkan hingga hari ini, orang India memanggil “Gandarva” untuk orang-orang yang ahli di musik klasik India.

Nama Gandarva ini kemudian di budaya Jawa berubah nama menjadi mirip dengan nama Genderuwo. Dan seiring dengan pergeseran budaya dan tradisi, genderuwo di Jawa pun sudah berubah drastis dengan Gandarwa itu.

Genderuwo pada budaya Jawa akhirnya merujuk ke makhluk halus yang berperawakan besar, hitam dan mata merah.

Di dalam bukunya berjudul De Javaansche Geestenwereld (Dunia Roh Jawa), H.A van Hien menjelaskan genderuwo bukanlah makhluk jahat. Kebiasaan utamanya adalah menakut-nakuti manusia. Di siang hari, ia dapat tampil dengan wujud ular besar, buaya atau macan. Di malam hari, ia bisa berubah wujud menjadi lelaki rupawan yang mengganggu perempuan yang lewat di jalan sepi.

Namun, pada dasarnya berdasarkan kepercayaan Jawa, Genderuwo adalah makhluk yang tidak membahayakan manusia, karena pada umumnya hanya menakut-nakuti dengan wujud-nya yang besar, hitam dan kekar. Atau dengan melempar batu ke atap rumah atau pintu.

Hal ini juga ditekankan di buku tua lainnya, The Religion of Java (yang versi bahasa Indonesia-nya dicetak dengan judul Abangan, Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa) karya antropolog Clifford Geertz. Clifford mewawancara dan meneliti masyarakat Jawa di tahun 1950an. Menurut isi bukunya, Genderuwo pada dasarnya tidak ada niat jahat dan tujuannya adalah untuk menakut-nakuti.

Pada satu ketika, Pak Paidin tiba-tiba terjatuh dari jembatan selagi berjalan. Ketika dia terjatuh ke air, sesosok menahan tangannya. Dengan bahasa Jawa kuna (klasik), sosok itu bertanya apakah Paidin baik-baik saja.

Namun, menurut Clifford, betapapun Genderuwo menyukai lelucon, makhluk ini juga berbahaya. Sering kali mereka muncul dalam wujud orangtua, kakek, anak, atau saudara kandung sambil berkata: “Hei, ayo ikut aku.”

Jika orang tersebut menuruti ajakannya, maka dia akan menjadi tidak terlihat. Keluarga yang kehilangan akan mencarinya sambal memukul pacul, arit, panci, dan alat-alat yang menghasilkan suara bising. Suara gaduh itu akan mengganggu genderuwo sehingga mungkin mau melepaskannya.

Atau saat genderuwo menawarkan makanan kepada si korban. Kalau korban memakannya, dia akan tetap tak terlihat; kalau menolak, dia akan tampak lagi dan keluarganya akan menemukannya.

Kasus lain yang berbahaya adalah genderuwo terkadang bisa meniduri wanita manusia. Kadang-kadang, menurut Clifford, genderuwo mampu menyamar menjadi suami seorang perempuan lalu menidurinya. Maka, lahirlah anak yang menyerupai raksasa. Berdasarkan catatan Clifford, dia mendapatkan informasi di Mojokuto, ada seorang yang tampangnya besar, hitam dan bentuknya aneh, yang konon dipercaya hasil dari genderuwo dan manusia. Usianya hanya sampai usia 16 tahu, lalu meninggal.

Belakangan di tahun 2013, Indonesia juga sempat dihebohkan oleh Wagini yang mengaku anak genderuwo dari Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur yang bahkan sempat tampil di beberapa televisi nasional.

Walaupun genderuwo umumnya adalah baik, namun adalah tidak baik untuk menyelepekan atau bersikap tidak sopan. Membicarakan gendruwo dengan tidak sopan atau bahkan menghinanya bisa saja membuat dia marah dan tersinggung, kalau secara kebetulan dia berada di dekat sana.